Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Josh telah lama mendalami bidang antena, sensor, dan radar. Totalitas dan dedikasinya di bidang ini membuatnya meraih berbagai penghargaan. Mulai dari Nanohana Venture Competition Award, Nanohana Competition Award, hingga Chiba University President Award (kesemuanya diselenggarakan oleh Chiba University).Pada awal Maret 2010 lalu, ia juga menyabet penghargaan The Society of Instrument and Control Engineers (SICE) Remote Sensing Division Award. Anggota Society of Instrument and Control Engineers (SICE) sendiri adalah lembaga-lembaga besar seperti JAXA (lembaga antariksa Jepang), NICT (Institut Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Jepang), NIES (Institut Nasional Studi Lingkungan), ISAS (Institut Ilmu Pengetahuan Antariksa dan Astronotikal), universitas-universitas, serta perusahaan-perusahaan besar perlengkapan antariksa Jepang mulai dari Mitsubishi, Toshiba, dan NEC.
Penghargaan ini dianugerahkan atas hasil penelitiannya berjudul 'Long term continuously DInSAR technique for volume change estimation of subsidence'. Dengan memakai metoda baru penginderaan synthetic aperture radar (SAR), Josh bisa mengukur perubahaan volume permukaan bumi dengan tingkat akurasi hingga millimeter kubik.
“Setiap perubahan di permukaan bumi beberapa millimeter kubik dapat dideteksi secara akurat menggunakan metoda saya dari ruang angkasa,” ujar Josh kepada VIVAnews melalui surat elektronik. Menggunakan sensor yang disandang satelit milik Jepang: JERS-1 SAR dan ALOS PALSAR, dari ketinggian sekitar 800 km, Josaphat mampu mengetahui adanya penurunan permukaan bumi yang cukup besar di wilayah Bandung dan sekitarnya dari tahun 1993 hingga 2010.
Menurutnya, metoda penginderaan itu akan lebih baik hasilnya bila memakai sensor yang sedang ia kembangkan. Karena itu, Josh akan meluncurkan satelit sendiri yang akan membawa sensor besutannya pada 2014 yaitu circularly polarized synthetic aperture radar microsatellite atau disingkat CP-SAR mSAT .
Lahir pada 25 Juni 1970 di RSAU Lapangan Udara Sulaiman Margahayu Kabupaten Bandung, Josh kemudian dibesarkan di desa kecil Colomadu Kartasura Jawa Tengah, hingga SMP. Ia mulai mengenal radar-radar milik AURI saat ikut ayahnya melatih tentara di sekolah pendidikan yang bersebelahan dengan bagian perbengkelan dan pemeliharaan radar (Benhar), ke pangkalan udara Adisumarmo Solo.
Pesan Josaphat Tetuko Sri Sumantyo
Lama menimba ilmu dan berkarya di negeri orang memberikannya perspektif tentang kondisi di tanah air. Menurut Josh, seharusnya setiap negara –termasuk Indonesia, memiliki ciri tersendiri dalam menciptakan sistem pendidikan dan budaya keilmuan, demikian juga seharusnya di Indonesia. Ia melihat kebijakan sekarang cenderung mengejar ketertinggalan teknologi dan sains Indonesia dari negara maju.
Kolektor peta kuno
Di luar kegiatan akademiknya, Josh punya hobi mengumpulkan dokumen lama budaya Indonesia, dan peta kuno Indonesia maupun dunia. Dia banyak mendapatkan benda-benda itu melalui lelang. Koleksinya antara lain peta dari abad 19. Hobinya ini dipicu oleh kenangannya di masa kecil karena ayahnya sering membawa peta militer.
Johny Setiawan, 36 tahun, besar di Bintaro Jakarta Selatan. Sejak 2003 menjadi peneliti di Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman. Profesinya sebagai astronom menuntutnya untuk sering melakukan kegiatan pengamatan dari ketinggian 2400 m di tengah gurun terpencil bersuhu ekstrim, di Observatorium La Silla Chile, yang merupakan salah satu observatorium terbesar dunia di belahan bumi bagian selatan.
November lalu, Johny dan tim yang ia pimpin, mempublikasikan hasil temuan planet yang tak hanya berasal dari luar sistem tata surya, tapi bahkan diperkirakan berasal dari luar galaksi Bima Sakti.
Planet itu diberi nama HIP 13044 b. Diperkirakan, itu adalah planet yang masih tersisa dari fosil galaksi lain yang telah punah, yakni fosil galaksi Helmi Stream, yang tersedot ke galaksi Bima Sakti antara 6-9 miliar tahun lalu, dan berada di sebelah selatan konstelasi Fornax.
Johny dan timnya berhasil menemukan planet ini menggunakan spektografi beresolusi tinggi FEROS, pada teleskop MPG/ ESO yang bergaris tengah 2.2 m di observatorium La Silla Chile. Dengan mengamati pergerakan radial bintang HIP 13044, diperkirakan planet HIP 13044 b mengitari bintang induknya itu dengan periode orbit 16,2 hari.
Setidaknya bukan cuma Johny yang terkejut dengan penemuan ini. Alan Boss, seorang pakar pembentukan planet dari Carnegie Institution for Science di Washington D.C., mengatakan bahwa penemuan ini adalah sebuah 'kabar besar', karena ini merupakan sebuah anomali.
"Planet ini ... sepertinya tak terbentuk melalui mekanisme konvensional yaitu melalui inti masif batuan dan es yang lalu menarik gas-gas untuk membentuk sebuah planet," kata Boss, yang tak terlibat penelitian ini, kepada National Geographic.
Obsesi Johny membawanya mengambil studi S1 di jurusan Fisika di University of Freiburg Jerman, kemudian S2 dan S3 di University of Freiburg dan Kiepenheuer Institute for Solar Physycs. Ia berhasil menyabet gelar Doktor dengan predikat Magna Cum Laude, sekaligus melempangkan jalannya bergabung dengan Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg.
tuntutan pekerjaannya membuat Johny mampu berkomunikasi dalam lima bahasa: Inggris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan tentu saja Indonesia. Bakat melukis Johny pun tersalurkan.
Johny yang belajar melukis secara otodidak, mengabadikan planet-planet yang ia temukan ke dalam lukisannya. Karya-karya lukisan Johny sempat dimuat di New York Times dan National Geographic. Johny juga mendalami videografi sambil mendokumentasikan perjalanan serta aktivitas kerjanya.
Dr Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti madya pada Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Perempuan itu akrab disapa Dewi. Pada pukul 16.00 WIB hari itu, dia harus membawa kotak-kotak tadi ke bus kantor, yang akan mengantarnya pulang ke Bogor.
Dewi merayakan keberhasilannya meraih penghargaan Habibie Award 2010, pada akhir November lalu. Dewi, 36 tahun, adalah ilmuwan termuda penerima penghargaan yang diadakan pertama kali sejak 1999 itu.
Penghargaan tadi diterima atas konsistensinya mengembangkan fuel cell, sumber listrik alternatif bersih dan ramah lingkungan. “Fuel cell pilihan sangat tepat, saat concern kita saat ini mengurangi efek pemanasan global,” kata Dewi.
Fuel cell adalah sel elektrokimia semacam baterai atau aki, yang dapat mengkonversi sumber bahan bakar (bisa berupa hidrogen atau hidrokarbon) menjadi listrik arus searah (DC). Fuel cell bisa digunakan menyuplai listrik rumah tangga, mobil, motor, dan lain sebagainya.
Menempuh studi S1 hingga S3 di Waseda University Tokyo Jepang, Dewi memilih bidang Kimia Terapan, dan mendalami studi tentang polimer dan katalis untuk fuel cell. Penemuannya terhadap katalis fuel cell baru yang menggunakan unsur Vanadium, membuatnya mendapat penghargaan Mizuno Award, dan Koukenkai Award dari universitasnya, pada 2003.
Setelah menggondol gelar Doctor of Engineering dari Waseda University, Dewi pulang ke Indonesia. Dia lalu bergabung dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pertama kali datang, Dewi sempat syok menghadapi kultur kerja yang begitu lamban. “Di sini banyak yang leha-leha. Itu bikin stress.” Padahal, ia biasa kerja cepat, terencana dengan target.
Yang paling mutakhir adalah hasil penelitian Dewi yang melahirkan sebuah produk membran polimer untuk fuel cell yang lebih efisien dari membran yang tersedia di pasaran. Produk membran itu dia namakan ThamriON. Produk itu punya efisiensi lebih baik, karena mampu mengurangi kebocoran hingga 50 persen.
Berkat kerja kerasnya ini, wanita kelahiran Magelang, 14 Juni 1974, itu mendapat penghargaan Adikara Rekayasa Engineering PII-Engineering Award pada 2006. Di tahun sama, prototipe itu lalu juga mendapat penghargaan ‘ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award’ dari Asia Federation Engineering Organization (AFEO).
Rahmat Hidayat peneliti di laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan di Institut Pertanian Bogor ini menggeluti riset yang sangat berguna bagi anak-anak, dan kaum lanjut usia. Peneliti ini sedang meracik bahan susu formula baru. Susu formula itu akan menjadi penangkal diare, sekaligus anti flu burung, dua jenis penyakit yang terus menghantui masyarakat Indonesia. Dalam setahun, Rahmat berhasil menemukan Imunoglobulin Yolk dari kuning telor, yang tak mengubah rasa, warna dan bau susu. "Formula itu bisa mencegah dua jenis diare yakni akibat bakteri Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis," kata Rahmat, kepada VIVAnews di Bogor, Kamis 23 Desember 2010.
Pria kelahiran Sumatra Utara 31 tahun lalu itu adalah dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, dengan spesialisasi Penyakit Hewan dan Mikrobiologi Medik.
Bagi Rahmat, susu dan telur ayam adalah dua elemen pokok penelitiannya. Selain sebagai sumber protein hewani yang sangat bermanfaat bagi daya tahan tubuh, susu dan telur ayam bisa menjadi perpaduan ampuh menangkal penyakit yang membuat banyak orang cemas, yaitu flu burung dan diare.
Sejak 2009, Rahmat memimpin tim dari FKH-IPB untuk meneliti formula anti-flu burung dan anti-diare. Hasil penelitian mereka pada tahun pertama, ungkap Rahmat adalah memproduksi Imunoglobulin Yolk (Ig Y) anti flu burung, dan anti diare yang dibuat dalam tiga rupa, yaitu spray dry kuning telur, freezer dry kuning telur, dan ekstrak murni.
Penemuan ini adalah terbaru, dan belum ada peneliti di Indonesia berhasil menemukan susu formula anti-flu burung sekaligus anti-diare. "Formula ini berguna menghadapi tiga jenis kuman, yaitu H5N1, Escherichia coli, dan Salmonella enteritidis, menyebabkan sering terjadi diare," kata Rahmat.
sumber : vivanews